Jalan sempit setapak, diantara kuning remangnya lampu, kabut yang dengan sengajanya menyelimuti. Perlahan dengan menggenggam keyakinan yang kian terbawa angan, kulangkahkan kaki menuju rindu, rindu yang tak lain adalah dirimu. Walau engkau dengan nafas berderu berusaha untuk tak menggenapkan.
Harapanku, tiada perasaan cemas engkau masih tegap menunggu, tanpa peduli bahwa engkau kini menggenggam dendam api resah di dalam cemburumu.
Sebab atau barangkali di antara beberapa keyakinan, kita masih mempunyai mimpi yang pasti didekap hangat.
Keseharian di waktu luangku, yang semestinya telah lelah direbahkan. Dengan tekad yang mengalir layaknya jantung yang memompa darah dengan begitu cepat, langkah kaki ini tetap tidak mengenal apa itu lelah. Karena, merindukan sosokmu dengan penuh peluk tak pernah memerlukan upah dan tak ingin lekas manjadi uzur.
Sembari menghitung tapak langkah diantara riuh amarahmu yang menyisakan pijar. Ku bayangkan senyummu yang masih mengambang di benakku. Seakan ia menagih perihal pelukan.
Berharap waktu mampu mendamaikan retak, pun tak lagi menjadikan hatimu membatu. Agar kita mampu saling berebut peluk hingga tak mengenal waktu, sampai terdapat beberapa anak kecil yang memanggil kita kakek dan nenek.
Kasihku, mungkin aku pernah menitipkan sepucuk janji yang mengikat pada temu, atau mengikat dimanapun yang kita sebut manis. Barangkali ia hanya memerlukan dekapan hangat tanpa menyebut lelah apalagi mengeluh peluh, barangkali ia juga butuh erat kita untuk menjaganya dengan doa-doa santun.
Kasihku, terimakasih jika engkau memaafkan dengan segala pintaku. Semoga kelak, aku-kamu dan beberapa seduhan kehangatan rindu tanpa lelah dan resah, menyelimuti kita- hingga tak kenal waktu.
Lovable.
Post a Comment